Seputih awan, sehalus kapas, serapuh daun kering di musim gugur. Dandelion adalah bunga yang sering kali terlupakan, terkubur di antara ilalang tinggi saat masih kuncup, lalu sang angin justru tega menerbangkan seluruh kelopak indahnya menjadi serpihan kecil ketika mereka mencapai puncak kemekaran, bahkan sebelum dunia sadar akan keindahan mereka.
Begitu pikirku terhadap bunga Dandelion selama ini, itu juga membuatku selalu melangkah hati-hati setiap kali melewati semak Dandelion. Bagiku Dandelion adalah bunga rapuh yang keindahannya harus dijaga selama mungkin. Sampai suatu hari, seorang pria mencabut setangkai bunga Dandelion yang sedang mencapai puncak kemekaran, lalu meniupnya sehingga serpihan putih berterbangan bebas di langit.
Dia bukan pria asing, manik hazel teduh itu telah menatapku penuh kasih selama delapan tahun. Bibir yang bergaris tajam senantiasa menyunggingkan senyum tulus, khususnya untukku, dan rambut hitam yang mulai panjang terpaksa dipangkas habis akibat tuntutan tugas. Sejujurnya, dia memang pernah menjadi pemuda asing, tapi seiring waktu bergulir kami merajut sebuah kisah. Akhirnya pemuda asing ini menduduki tempat istimewa di dalam hatiku, satu-satunya raja yang menempati singgasana.
Kami berdiri berdampingan, menikmati sinar mentari terpantul dari pintu kaca halaman belakang, membuat kulit terasa hangat di tengah dingin udara pagi. Lagi-lagi pria itu mencabut satu bunga Dandelion dan meniupnya.
Kali ini aku benar-benar marah, tanpa sadar memukul punggungnya cukup keras. “Hentikan, kau merusak bunga malah itu!”
Dia tertawa. “Bunganya tidak akan rusak.”
“Tentu saja rusak kalau kau mencabutnya dengan kasar. Itu namanya biologi, katanya kau paling pintar di sekolah.”
Lagi-lagi dia tertawa, tawa dengan sirat ejekan yang selalu sukses membuatku kesal, tapi juga tawa yang pasti kurindukan. Mengapa hati ini begitu remuk bahkan hanya membayangkan kerinduan itu. Saat tawanya mereda, dia merangkulku sambil menunjuk serpihan putih yang menari bersama angin.
“Kau lihat serpihan bunga yang berterbangan itu?”
Aku mengangguk.
“Suatu hari serpihan kecil itu akan jatuh di suatu tempat. Bunga itu tidak rusak atau mati, sebaliknya akan tumbuh menjadi bunga baru, menjadi satu kehidupan baru.”
Aku serius mendengarkan, heran bercampur kaget. Dia bukan tipe pria yang suka memberi petuah, justru cenderung konyol. Namun, kali ini dia terlihat serius dengan segala ucapannya, jadi aku juga serius mendengarkan, sambil sembunyi-sembunyi mengulum senyum. Aku suka kalau dia mulai banyak bicara.
“Angin menerbangkan mereka sejauh mungkin sampai jatuh dan tumbuh di tempat berbeda agar seluruh dunia bisa menikmati keindahannya.” Dia melanjutkan, tatapannya tertuju kepadaku sekarang. “Ibarat pepatah, mati satu tumbuh seribu. Itu juga disebut Biologi dan Filosofi. Aku menang.”
Aku terkesiap. Pemikiran seperti itu tentu berbanding terbalik dengan pemikiranku selama ini. Sekali lagi pria itu memetik setangkai Dandelion, kali ini lebih hati-hati.
“Nah, anggaplah bunga ini perumpamaan cintaku padamu.” Dia meniup bunga itu. “Sekarang cintaku akan tersebar ke seluruh penjuru bumi sehingga kau tetap bisa merasakannya meski jarak kita terpaut sangat jauh.”
“Bagaimana mungkin bunga-bunga kecil itu bisa terbang jauh?” kataku, berusaha menyembunyikan air yang hendak mendobrak bendungan kelopak mata.
“Tidak ada yang tahu, kita serahkan pada angin hendak membawanya sejauh mana. Toh, meskipun angin menerbangkan Dandelion berkali-kali, justru membuat Dandelion menyebar semakin luas. Sama seperti cintaku padamu.”
Tak mampu menahan air mata, aku memeluknya erat-erat, mungkin pelukan paling erat yang pernah kuberikan. Aku akan menyimpan aroma tubuh ini selamanya, berusaha mengingatnya sampai kapan pun. Pria kesukaanku, yang sebentar lagi akan pergi jauh.
“Kau harus pulang.”
“Aku pasti pulang.”
“Ingat, aku terus menunggumu tidak peduli sampai berapa lama.”
“Bagus ... itu akan membuatku kuat.”
Aku terisak di pelukannya, andai waktu bisa berhenti, aku tidak mau dia pergi, tidak mau berpisah. Klakson mobil berbunyi, menandakan pelukan itu harus segera berakhir, mungkin untuk waktu yang sangat lama. Aku bantu membawakan barang-barangnya ke dalam mobil, sebenarnya tidak terlalu menolong lantaran aku hanya menjinjing tas paling kecil dan ringan. Dia mencium dahiku begitu dalam, lalu membelai puncak kepalaku sebelum masuk ke dalam mobil. Kami hanya bisa saling melambai, bertukar senyum pilu sampai manik hazel itu benar-benar tidak terlihat lagi.
Sekarang satu dekade berlalu semenjak dia mengubah pemikiranku tentang bunga Dandelion. Aku yang dahulu mengasihani Dandelion, sekarang mengagguminya. Aku yang dahulu melangkah hati-hati ketika melewati kumpulan Dandelion, sekarang meniupnya kuat-kuat agar serpihan putih kecil itu terbang sejauh mungkin. Aku memetik setangkai Dandelion yang mekar sempurna, memandanginya sebentar. Tanpa sadar senyum tersungging di bibir.
“Kau lihat bunga ini?” gumamku, meniru ucapannya dulu. “Bunga ini ibarat rasa rinduku padamu.”
Aku meniup Dandelion itu sampai serpihan putihnya habis. Sekarang serpihan kecil itu melayang-layang di udara, lalu angin akan menerbangkan mereka sejauh mungkin. Membawa mereka ke tempat baru untuk memulai hidup baru. Mungkin suatu hari, salah satu dari mereka akan sampai ke tempatmu. Ia akan memberitahu bahwa jauh di benua lain seorang gadis telah meniupnya, membawa segudang rindu yang ia pendam sekian lama. Bunga itu ingin menyampaikan sesuatu. Bagaimana kabar pria kesukaannya saat ini dan kapan dia kembali.
***
Komentar
Posting Komentar