Wendy Pan Awan kelabu bergulung-gulung di langit, bergerak lamban mengikuti embusan angin membekukan tulang. Tidak ada yang bisa melihat kalau di balik awan-awan tebal itu ribuan bintang bertaburan, berkelap-kelip bak permata. Jika diperhatikan lebih saksama, ada dua bintang istimewa sebab ukuran dan pijar cahaya mereka lebih terang. Satu kecil, satu besar, berdampingan seolah bergandeng tangan. Hal itu teramat sangat jarang terjadi, bahkan telah menjadi sebuah legenda. Konon jika dua bintang istimewa muncul, orang istimewa dari Neverland sedang datang berkunjung. Selimut putih menutup seluruh kota London, bahkan menutup menara Big Ben bak topi, membuat detiknya redam meski masih terdengar samar di telinga setiap orang. Jarum panjang menunjuk ke arah dua belas, sementara jarum pendek terarah tepat pada angka sepuluh. Malam hari. Aktifitas di jalan utama sudah lengang, hanya segelintir mobil yang masih berani berkeliaran di aspal licin musim dingin. London tidak berubah sejak terakhir k
Seputih awan, sehalus kapas, serapuh daun kering di musim gugur. Dandelion adalah bunga yang sering kali terlupakan, terkubur di antara ilalang tinggi saat masih kuncup, lalu sang angin justru tega menerbangkan seluruh kelopak indahnya menjadi serpihan kecil ketika mereka mencapai puncak kemekaran, bahkan sebelum dunia sadar akan keindahan mereka. Begitu pikirku terhadap bunga Dandelion selama ini, itu juga membuatku selalu melangkah hati-hati setiap kali melewati semak Dandelion. Bagiku Dandelion adalah bunga rapuh yang keindahannya harus dijaga selama mungkin. Sampai suatu hari, seorang pria mencabut setangkai bunga Dandelion yang sedang mencapai puncak kemekaran, lalu meniupnya sehingga serpihan putih berterbangan bebas di langit. Dia bukan pria asing, manik hazel teduh itu telah menatapku penuh kasih selama delapan tahun. Bibir yang bergaris tajam senantiasa menyunggingkan senyum tulus, khususnya untukku, dan rambut hitam yang mulai panjang terpaksa dipangkas habis akibat tuntutan